Translate

Saturday 6 July 2013

Memaknai Tut Wuri Handayani

Jika ditanya apa yang menjadi kunci dari kesuksesan membangun masa depan sebuah bangsa, barangkali jawabannya adalah anak-anak. Yakni mereka yang menjadi penerus bangsa di masa mendatang. Berhasil atau tidaknya pendidikan dalam suatu bangsa jelas akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang.


Akan tetapi persoalan pendidikan bagi anak-anak memang tak semudah mengurus apa yang bisa dimakan esok hari. Meramu pendidikan yang tepat tidak juga semudah membangun sebuah rumah atau gedung bertingkat. Pendidikan untuk anak bukan sekedar soal bagaimana membangun sekolahan dengan kualitas nomor wahid, atau bagaimana agar anak-anak bisa memenangkan olimpiade tingkat internasional. Tetapi bagaimana agar manusia-manusia yang hari ini menjadi anak-anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kelak dapat mewujudkan kesejahteraan bangsa.


Belakangan kita tengah diributkan kembali dengan permasalahan tawuran antar sekolah. Ribuan orang mengecam tindakan remaja-remaja beringas ini. Menuding mereka melakukan hal yang teramat tak berguna. Beberapa solusi muncul di permukaan, mulai dari menambah jam pelajaran di sekolah, memasukkan ‘anak-anak nakal’ itu ke dalam karantina tertentu atau memberikan sangsi keluar dari sekolah. Tetapi benarkah ini semua salah mereka? Bukankah anak-anak adalah buah dari orangtuanya? Buah dari guru-guru dan sekolah yang mendidiknya? Buah dari sistem pendidikan negara?


Lantas apakah berarti pendidikan di negara ini telah salah? Ups, saya tidak berpendapat demikian. Hanya saja barangkali kita perlu berbenah diri. Pelaku pendidikan bukan saja mereka yang berada di Kementrian Pendidikan Nasional, bukan juga hanya mereka yang berkecimpung di dunia persekolahan, tetapi yang terutama adalah kita, sebagai individu, yang juga memiliki anak-anak yang kelak akan menjadi penerus bangsa ini.


Nyaris seratus tahun yang lalu, kita punya Ki Hajar Dewantara yang diresmikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ajaran-ajaran beliau sungguh luar biasa, seandainya saja kita mampu menerapkan satu slogan dari beliau yang terkenal bunyinya hingga kini namun sangat minim pelaksanaannya, barangkali kita telah berbuat sesuatu bagi negri ini.




Ing Ngarso Sung Tulodo


Jika seorang anak berbuat sesuatu yang baik dan membanggakan, kita para orangtua sering berdecak “ Siapa dulu Bapaknya!”. Tetapi jika sang anak melakukan sesuatu yang nakal, yang tidak diharapkan, kita kerap kali bertanya-tanya mengapa anak kita berlaku demikian.


“ SABAAAR Naaaak!” ucap kita dengan suara keras.  Demikian contoh perilaku yang barangkali sering kita lakukan. Kita bicara dengan nada yang tidak sabar, namun kita menuntut anak kita untuk sabar. Lalu jika anak kita bersikap tidak-sabaran, kita bingung (dan memarahinya) kenapa dia seperti itu.


Anak-anak menyerap sikap dan tingkah laku lebih baik dibandingkan mereka menyerap kata-kata. Mereka melihat apa yang orangtua mereka lakukan dengan detail, bahkan sejak mereka belum dapat mengucapkan kata-kata. Seorang anak hanya akan berperilaku seperti apa yang mereka lihat sehari-hari. Jadi, rasanya tidak bijak jika kita mempersalahkan anak dengan segala tingkah buruknya.


Barangkali yang perlu kita lakukan adalah bercermin, mengkoreksi segala tindak tanduk perilaku kita. Memberikan anak-anak kita pendidikan bukan berarti mencari orang atau lembaga yang mampu mengajarkan pengetahuan tertentu pada benak anak, tetapi hal pertama yang harus kita lakukan dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak kita adalah memperbaiki diri kita sendiri.




Ing Madyo Mangun Karso


Memberikan teladan saja tidak cukup. Orangtua harus mampu berada di samping mereka, menemani mereka belajar, memberikan semangat , serta menimbulkan gairah belajarnya.Jadilah teman belajar mereka dan bukan hanya duduk manis menudingkan jari telunjuk memberi perintah anak-anak untuk belajar.




Tut Wuri Handayani


Kita masih sering menganggap bahwa anak-anak adalah lembaran kertas putih yang kosong. Jika tidak ditulisi, maka anak-anak tetap akan kosong. Mereka menanti untuk diajarkan sesuatu. Padahal, pernahkah anda memperhatikan bagaimana seorang bayi belajar tengkurep? Bagaimana mereka belajar berjalan? Atau bagaimana mereka belajar berbicara?


Pernahkah kita mengajarkan mereka “Ayo nak buka mulutmu lebar-lebar dan keluarkan bunyi aaaaa” ? Tidak pernah bukan? Mereka secara ajaib bisa mulai berkata-kata sendiri. Secara ajaib pula mereka dapat mengerti apa yang kita ucapkan tanpa pernah kita mengajarkan “Nak, kalau kegiatan seperti ini namanya makan. Kegiatan seperti ini namanya minum. Ayo ucapkan.. Maaakan.. Minuum “  


Hal seperti ini merupakan salah satu indikasi bahwa sejatinya manusia merupakan makhluk pembelajar. Dengan kemampuan otak yang luar biasa, manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, sejatinya sudah memiliki insting untuk memenuhi kebutuhan dirinya untuk belajar. Hanya saja, intervensi berlebihan terhadap proses belajar terkadang mematikan insting manusia untuk belajar tersebut.


Saya percaya bahwa Ki Hajar Dewantoro mengerti hal ini. Sebab itu slogan terakhirnya merupakan “Tut Wuri Handayani”. Yakni bagaimana agar orangtua terkadang perlu untuk sekedar berada di belakang, memberikan dorongan dan arahan saja. Membiarkan anak-anak mengamati, mencari tahu sendiri, memecahkan persoalannya sendiri serta menentukan apa yang tengah ingin ia pelajari.


Sebab anak-anak bukan seperti kertas putih kosong. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan otak yang sudah dapat berfungsi luar biasa bahkan sejak mereka di dalam kandungan. Dengan berada di belakang, mengawasi dan memberikan arahan, membiarkan mereka mengembangkan kemampuannya tanpa intervensi orang dewasa yang terlalu berlebihan, membuat mereka bisa memahami diri mereka sendiri. Sesuatu yang rasanya mahal di kalangan generasi muda masa kini.


Terimakasih Bapak Pendidikan Indonesia. Semoga ajaranmu ini kelak dapat membimbing anak-anak bangsa menghantarkan kejayaan Nusantara!




Sumber :  www.gafatar.or.id
Penulis : Ayu Primadini
Anggota Gerakan Fajar Nusantara, Ibu 2 anak, Pemerhati masalah Pendidikan Anak.

No comments:

Post a Comment