Translate

Saturday, 6 July 2013

Mengenal Tuhan Melalui Alam

Fenomena Flora Fauna


Suatu hari penulis mempunyai inspirasi untuk mendalami sebuah ilmu alam semesta. Tiba-tiba saja penulis tergerak keluar rumah untuk mengamati beberapa fenomena faktual empiris yang terjadi di lingkungan rumah. Penulis melakukan eksplorasi dan pengamatan meluas terhadap perubahan-perubahan fisik yang terjadi di alam depan rumah tempat diskusi rekan-rekan seperjuangan. Di depan rumah berlantai dua tersebut sambil mendengarkan kicauan burung Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang hinggap di pohon mangga, pikiran penulis mengajak untuk beraktivitas mencermati segala sesuatu yang ada di halaman berukuran kurang lebih 10 meter persegi itu. Penulis langsung mengambil kamera untuk memotret beberapa varieties flora maupun fauna yang ada di taman tersebut. Penulis merekam dalam memori otak bahwa segala tanaman yang tumbuh di halaman itu tidak semuanya berbuah. Ada tumbuhan yang berbuah maupun yang tidak. Tumbuhan yang berbuah diantaranya pohon mangga, rambutan, Blimbing, Srikaya, Cabai, Terong, Gambas, dan lainnya. Sementara pohon yang tidak berbuah seperti Ketela, Kangkung, bunga Melati, Bambu, serta tanaman hias yang penulis tidak mengetahui namanya. Penulis juga baru sadar ternyata banyak sekali kehidupan ekosistem di tengah-tengah perumahan tersebut.



Tanaman yang ada di pekarangan tersebut terbagi atas dua model kehidupan. Maksudnya bahwa ada tanaman yang sengaja penulis dan rekan budidayakan dari bibit sampai berbuah, sementara yang lainnya tanaman tumbuh liar. Untuk tanaman yang dibudidayakan mendapat perhatian khusus dalam perawatan hidupnya tanaman. Satu sisi lainnya jarang mendapatkan perlakuan tetapi semuanya dapat hidup berdampingan dengan perbedaan jenis maupun ordo tanaman tersebut. Banyak sekali tumbuhan maupun jenis rumput yang tumbuh dengan sendirinya di lingkungan tersebut sehingga menjadikan taman ini menjadi hijau dan sejuk. Untuk tanaman yang ditanam secara langsung, penulis mempunyai catatan dan rekam jejak tumbuh kembang pohon tersebut. Penulis menjadi saksi kehidupan beberapa tanaman dari awal biji yang dibeli dari pasar hingga saat ini menjadi buah atau sayur yang bisa dikonsumsi manusia. Contoh tanaman tersebut adalah tanaman gambas (Luffa acutangula) dan cabai (). Penulis benar-benar menjadi pelaku penanaman benih gambas dan cabai tersebut. Sekitar tiga bulan yang lalu atau 2.592.000 detik yang lalu penulis meletakkan bijih gambas dalam olahan tanah pekarangan itu. Penulis memberikan siraman air pada waktu pagi maupun siang walaupun tidak begitu konsisten. Alhasil, waktu terus berjalan dan hari ini tanaman gambas sudah tumbuh lebat dan menempel pada pohon blimbing yang tersorot matahari. Beberapa hari yang lalu rekan penulis sudah mulai panen Sayur Gambas tersebut untuk dimasak bersama-sama. Ada sebuah perubahan kehidupan dalam diri tanaman-tanaman tersebut.


Setelah sejenak melakukan eksplorasi tersebut, penulis bergegas merefleksikan temuan tersebut dalam arsip memori pikiran ilmu alam semesta. Ada beberapa pertanyaan yang langsung muncul dalam benak penulis. Perubahan benih menjadi tanaman menjulang tinggi serta berbuah pada masanya itu merupakan fakta konkrit bahwa tanaman itu hidup. Pertanyaanya adalah siapa dibalik eksistensi kehidupan perubahan tanaman-tanaman tersebut? Perubahan yang tiga bulan lalu masih dalam bentuk benih dan tertimbun tanah, hari ini berubah menjadi pohon kokoh dan berbuah dimana didalamnya ada benih tanaman itu. Siapa yang mengajarkan pohon untuk mencari ruang terang sinar matahari untuk proses fotosintesis? Apa atau siapa yang menjadi pengendali kehidupan ekosistem alam pekarangan depan rumah?


Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mencoba mendalami ilmu eksistensi materi. Eisntein menyatakan bahwa eksistensi materi meliputi tiga hal yaitu dimensi ruang, masa dan waktu. Neurotransmitter penulis terus menghubungkan sinap-sinaps dendrite untuk mencari pola hubungan interaksi eksistensi alam semesta tersebut. Sebuah insight, penulis mengingat kata Tuhan. Tuhan yang Maha absolut, yang mempunyai hidup dan kehidupan. Penulis mengungkit rekaman memori terhadap beberapa kearifan universal di Nusantara seperti Tri Hita Karana. Sebuah disiplin keilmuan eksistensi yang meliputi dimensi Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Ketiga hal itu tidak bisa dipisahkan. Masing-masing harus dipahami dan disadarkan agar menjadi satu kesatuan utuh pemahaman atau manunggaling kawula gusthi. Dari sinilah penulis tersadar bahwa Tuhan sebagai Sang Kholik menciptakan makhluk yaitu manusia dan alam semesta dengan akhlak penciptaanya. Manusia sebagai makhluk paling istimewa yang Tuhan ciptakan mempunyai peran dan fungsi fundamental untuk mengelola alam semesta sebagaimana kehendak dari Tuhan Yang Maha Menciptakan. Tugas berat manusia adalah memahami Tuhan-Nya agar selalu dekat dan tidak melanggar segala kehendak dan perintah-Nya.


Dimensi Tuhan



Barang siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Inilah jargon para filosof yang menganggap bahwa manusia itu makhluk terunik di bumi ini. Kemampuan manusia untuk mengenal Tuhan menjadi kunci setiap perjalanan kehidupannya. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengenal Tuhan? Bukankah dia itu Maha Ghoib, tidak kelihatan tetapi Ada. Untuk mencoba menguraikan dan menjawab pertanyaan ini, kita kembali menganalogikan kisah perjalanan tanaman di pekarangan rumah. Tanaman-tanaman yang ada di pekarangan itu tumbuh dan berkembang. Awalnya berupa benih, kemudian berubah menjadi pohon dengan tinggi 1 cm, 5 cm, 15 cm dan sekarang sudah lebih dari 2 meter serta berbuah dimana menghasilkan benih didalam dirinya. Penulis mencermati pertumbuhan tanaman itu dan disana tidak muncul atau kelihatan ‘gentayangan’ dari Sang Maha Memberi Hidup. Tuhan tidak kelihatan pada saat mengendalikan tumbuhnya tanaman. Tidak ada hal-hal aneh atau penampakan dari diri Tuhan didepan rumah penulis. Ada sebuah kekuatan maha dahsyat kasat mata yang mampu merubah dan menghidupi fenomena alam di lingkungan tersebut. Dialah Tuhan Yang Maha Esa.


Dari analogi dan pendekatan itulah kemudian memahami akan sebuah eksistensi Tuhan. Tuhan yang menghidupi flora maupun fauna itu mempunyai dimensi yang sangat berbeda dengan makhluk ciptaannya. Ada beberapa informasi mengenai dimensi Tuhan itu yang disampaikan melalui kitab-kitab Tuhan. Banyak sekali Tuhan menjelaskan dirinya dalam tulisan-tulisan berbagai bahasa. Tuhan menjabarkan dirinya agar manusia mengakui eksistensi diri-Nya yang sangat esensial. Dari studi triangulasi kodefikasi kitab-kitab Tuhan, maka penulis menemukan beberapa dimensi dari Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa dimensi Tuhan diantaranya bahwa Tuhan itu berbeda dengan makhluknya. Tuhan tidak bisa disamakan dengan segala ciptaanya apapun di muka bumi ini. Tuhan bukan seperti tanaman rambutan maupun burung kutilang serta benda apapun yang mewujud di muka bumi ini.


Kedua, Tuhan itu tidak bisa djangkau dengan pandangan mata manusia. Manusia mau menggunakan alat mikroskop paling canggih semodel apapun tidak akan pernah bisa melihat Tuhan. Dia sudah menyatakan bahwa Dirinya itu ghoib atau tidak terlihat oleh panca indera. Ketiga, Tuhan itu lebih dekat dengan pikiran manusia. Tuhan mempunyai sifat-sifat kebenaran universal alam semesta. Ilmu Tuhan ada disetiap perwujudan konkrit benda-benda di tata surya ini. Tuhan lebih dengan dengan pikiran bermakna bahwa hendaknya sifat unggul dari Tuhan itu ada dalam diri manusia. Manusia menjadi realisator dari rencana-rencana Tuhan, itulah makna Tuhan dekat dengan pikiran manusia. Keempat, Tuhan itu tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Itulah kenapa para utusan Tuhan bukan menjadi Tuhan, karena ada perbedaan kekuatan dan eksistensi antara Tuhan dengan manusia. Manusia pasti tidur dan banyak mengantuk dalam setiap aktivitas kesehariannya. Kelima, dimensi Tuhan ada dimana-mana dan selalu ada bersama kita. Kita tidak pernah sendiri, selalu ada Tuhan. Begitu juga dengan burung kutilang yang selalu hinggap di depan rumah dengan kicauannya selalu bersama Tuhan. Tuhan selalu mengawasi segala perilaku makhluknya termasuk manusia ataupun tumbuh kembang pohon cabai yang ada di pekarangan rumah. Tuhan ada dimana-mana dan kursi Tuhan meliputi alam semesta karena Dia semuanya yang mengendalikan dan mengatur pola konektivitas antara makhluknya yang saling tergantung dan saling membutuhkan.


Itulah dimensi-dimensi Tuhan, Dia akan selalu ada bersama kita yang sedang menjalani kehidupan. Tuhan yang secara eksistensi tidak tampk dan kasat panca indera tetapi dia selalu mengawasi kemanapun dan dimanapun kita berada. Manusia terikat oleh kuasa Tuhan-Nya. Dengan memahami dimensi Tuhan maka kita akan mengetahui bagaimana cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesuatu pendekatan yang ilmiah universal untuk menjadi hamba-Nya yang kenal dengan pencipta-Nya.


Sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang



Mengenal Tuhan tidaklah cukup sekedar memahami dimensinya. Jauh lebih dari itu harus mengenal sifat-sifat utama Tuhan. Dalam beberapa referensi ada yang menyampaikan bahwa Tuhan itu mempunyai 99 sifat utama. Namun demikian, sifat utama dari Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hampir dalam setiap kitab-kitab Tuhan, sifat utama Dia adalah kasih sayang. Pertanyaannya adalah kenapa dua sifat utama itu yang Tuhan eksistensikan? Apa bedanya antara pengasih dan penyayang? Dua sifat utama itulah yang selalu Tuhan wujudkan dalam mengelola milyaran makhluk ciptaanya. Atas landasan itulah Tuhan itu menghidupi makhluknya yang ada di langit maupun di bumi. Dia selalu mengasihi dan manyayangi dan Dia tidak pernah menzolimi makhluknya. Ada perbedaan fundamental dari kedua sifat Tuhan tersebut. Tuhan Maha Pengasih mempunyai makna bahwa Tuhan itu selalu mengasihi secara fisik kepada makhluk ciptaanya.


Perwujudan atau manifestasi Tuhan sebagai Ar-Rahman adalah Dia selalu memberikan kebutuhan-kebutuhan fisik material kepada makhluknya. Dia menciptakan sinar matahari, udara, air, api untuk keperluan manusia dan makhluk lainnya. Siklus rantai makanan merupakan fakta konkrit bagaimana Tuhan mempunyai sifat Maha Pengasih kepada makhluk ciptaanya.  Itulah makna esensi dari maha Pengasih, selalu member tak harap kembali. Tuhan Maha Penyayang mempunyai makna bahwa Tuhan selalu menyayangi seluruh ciptaanya. Perwujudan dari Ar-Rahim adalah Dia mengajarkan ilmu kepada makhluknya. Tuhan mengajarkan ilmu yang sifatnya nilai atau esensi. Sebagai contoh manifestasi Maha Pengasih, Tuhan mengajarkan bagaimana burung itu terbang. Dia mengajarkan lebah untuk mencari tempat berlindung di bukit-bukti. Tidak kalah penting bahwa manusia, selalu diajarkan ilmu oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta. Itulah makna Maha Penyayang, Dia menyayangi manusia dengan mengutus orang-orang pilihannya untuk mengajarkan hidup dan kehidupan alam universal ini. Perbedaan utama dari maha pengasih dan penyayang adalah terletak pada bentuk manifestasi Tuhan yang dia berikan baik secara fisik maupun secara nilai. Tuhan tidak pernah hanya memberikan udara untuk bernafas tetapi dia juga akan selalu mengajarkan nilai ilmu kepada manusia yang bernafas.


Pemahaman manusia akan sifat utama Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang menuntut kita untuk berlaku dan bertindak atas landasan tersebut. Orang selalu berbasmallah atau mengatasnamakan Tuhan Yang Maha Esa mempunyai konsekuensi segala pemikiran, perkataan dan perbuatan berdasar sifat utama pengasih dan penyayang. Salah satu perwujudan manusia yang telah menggenapi sifat utama itu adalah orang tua. Orang tua selalu melakukan sesuatu dengan kasih. Perwujudan Maha Pengasih manusia adalah selalu memberikan makanan fisik kepada anaknya. Tetapi hal itu tidaklah cukup. Orang tua harus memberikan sifat sayangnya kepada anak yaitu dengan mengajarkan suatu ilmu atau nilai kepada diri anak. Itulah manusia yang berjalan berdasarkan atas nama Tuhan. Kita sebagai manusia dewasa hendaknya sebelum melakukan sesuatu dilandasi spirit pengasih dan penyayang. Kita harus memberikan pelayanan kepada manusia lainnya secara materi sebagai bentuk kasih dan kita juga harus selalu mengajarkan kebenaran universal sebagai manifestasi sifat pengasih. Itulah harapan Tuhan terhadap orang-orang yang mengatasnamakan dirinya dalam setiap aktivitas. Pantulkan jiwa kasih dan sayang dalam setiap keluar dari rumah dan pada saat bertebaran dimuka bumi.


Prinsip Penciptaan Tuhan



Setelah kita mengenal dimensi dan sifat Tuhan maka berikutnya adalah memahami prinsip penciptaan Tuhan. Tuhan mempunyai aturan yang mengikat dirinya dalam setiap menciptakan suatu kejadian. Dia mempunyai hukum universal dalam setiap menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Diatas prinsip penciptaan itulah Dia merealisasikan seluruh kejadian benda-benda konkrit yang ada di alam semesta. Untuk memhamai prinsip yang berjalan dalam setiap Dia menciptakan sesuatu maka pendekatan yang digunakan adalah penciptaan tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah. Penulis merekam dan memahami setiap tumbuh kembang tanaman cabai dan sayur gambas. Ada beberapa kaidah-kaidah ilmiah yang ditunjukkan oleh tanaman sehingga menhasilkan sebuah sintesa akan prinsip-prinsip dari Sang pencipta tanaman dalam dia mengatur tumbuhan tersebut. Ada empat prinsip penciptaan yang dapat penulis rekam dan analisis dari fenomena karya Tuhan di tanaman tersebut.


Pertama, prinsip manajemen yaitu bahwa Tuhan selalu menciptakan sesuatu itu ada perencanaan, pelaksanaan dan kejadian. Itulah yang tersimpul dari tanaman, bahwa Tuhan merencanakan tanaman mlinjo keluar buah mlinjo, bijih gambas berbuah gambas, dan biji capai menghasilkan cabai. Aktivitas tanaman menunjukkan adanya sebuah pelaksanaan dalam dirinya. Tanaman itu harus terikat oleh dimensi waktu 3 bulan untuk merubah darinya dari benih cabai menjadi pohon besar kemudian menghasilkan cabai rawit kuning. Penulis baru bisa merasakan pedasnya cabai dan gurihnya sayur gambas setelah menunggu waktu cukup lama yaitu tiga bulan. Itulah prinsip manajemen kun-faya-kun, jadilah maka jadi. Jadi sebuah perencanaan, dilaksanakan dalam suatu proses perjuangan dan jadilah sesuai dengan apa yang direncanakan. Semuanya tidak ada yang bersifat mistis abakadabra, Tuhan menciptakan cabai dan gambas maupun srikaya terikat oleh proses waktu yang harus dilaluinya. Tidak ada yang tiba-tiba, tidak ada tanaman di pekarangan penulis yang hari ini ditabur benih seminggu berikutnya sudah berbuah. Sesuatu yang mustahil dan melanggar hukum penciptaan tuhan.


Kedua adalah prinsip penciptaan berupa kesepasangan. Sebagaimana dalam Tuhan menciptakan tanaman-tanaman yang ada di depan rumah, dalam masa perkembangannya ada tanaman yang tumbuhnya cepat dan lambat. Ada yang tetap eksis hidup tetapi ada juga yang mati. Diakhir masa berbuah ada pohon cabai yang berbuah tetapi ada juga yang tidak berbuah. Itulah prinsip kesepasangan bahwa Tuhan menciptakan suatu kejadian di alam semesta ini secara kesepasangan. Dia ciptakan manusia yang pandai-bodoh, tinggi-rendah, sehat-sakit. Alam pun diciptakan berpasang-pasangan seperti gelap-terang, siang-malam. Kahidupan sosial juga Tuhan ciptakan secara bergantian yaitu ada jaman berkat-kutuk, tegak-runtuh, kaliyoga-kertayoga, chaos-cosmos dan lain sebagainya. Kesepasangan ini diciptakan untuk fungsi saling melangkapi bukan saling meniadakan. Itulah perwujudan keadilan Tuhan yang selalu mempergilirkan kesepasangan kehidupan.


Prinsip yang ketiga adalah prinsip struktural. Prinsip hukum penciptaan ini merupakan sebuah sistematika bertingkat dalam Tuhan menciptakan kejadian. Tanaman cabai yang ada di rumah menjadi buktinya. Pada awal penanamannya tidak tiba-tiba di tanam. Tetapi melalui serangkaian proses kegiatan yang meliputi pencangkulan, pengolahan tanah, pemupukan, penyemaian, penyiraman, perawatan, tumbuh kembang, berbuah dan akhirnya layu dan mati setelah berbuah. Itulah kronologis sistemik penciptaan Tuhan. Dia selalu berjalan berdasar aturan tingkatan dalam aktivitasnya. Alam sosial juga demikian adanya, struktur kepemimpinan adalah menifestasi hukum structural dari Tuhan. Untuk bisa mengendalikan jutaan manusia Nusantara dibutuhkan sebuah structural kepemimpinan yang menata kelola sistem hidup bersama yang sistemik dan berkelanjutan. Prinsip yang keempat adalah prinsip keseimbangan. Tuhan selalu menciptakan sesuatu dengan seimbang. Seimbang bukan berarti sama rata. Dia memberikan beban tumbuhan sesuai dengan prosi kekuatan tumbuhan. Sesuatu akan rusak jika diciptakan dalam kondisi yang tidak seimbang. Tanaman melon yang pernah ditanam oleh penulis dan rekan semuanya mati sebelum berbuah karena ketidakseimbangan kadar air dan asam karena curah hujan yang tinggi. Begitu juga dengan beberapa tanaman yang kekurangan pupuk menjadikannya tidak subur dan lambat berkembang. Itulah empat prinsip penciptaan Tuhan. Diatas prinsip manajemen, kesepasangan, structural dan keseimbangan itulah Tuhan menciptakan segala sesuatu yang mewujud di alam makrokosmos ini.


Belajar dari fenomena etik tumbuhan flora yang menghasilkan temuan dimensi, sifat dan prinsip penciptaan Tuhan maka ada relevansi yang besar untuk manusia pahami dalam menjalani kehidupan ini. Manusia yang telah mengenal tuhan dari dimensinya makan akan lebih mudah dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta. Manusia tidak lagi bingung untuk mencari dimana Tuhan itu sembunyi. Karena hakikatnya Tuhan itu sangat dekat dengan manusia dan ada dimana-mana. Pemahaman yang benar akan dimensi Ketuhanan akan menjadikan manusia melakukan sesuatu berlandaskan sifat Ketuhanan. Manusia bijaksana akan selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap perilakunya. Dia akan mengejawantahkan dirinya seperti halnya sifat Tuhan. Kita harus melandasi pemikiran, perkataan dan perbuatan atas nama Tuhan Yang maha Pengasih dan maha Penyayang. Sifat pengasih dan penyayang akan menjadikan manusia super. Manusia yang selalu member tak harap kembali dan selalu menyayangi makhluk ciptaan lainnya. Perwujudan kedua sifat itu dilakukan dengan perngorbanan harta dan jiwa. Dengan harta manusia akan memberikan sifat kasihnya secara materi kepada sesame sementara berkorban dengan jiwa diwujudkan dengan selalu mengajarkan ilmu sebagai infiltrasi sifat sayangnya kepada manusia lain.


Manusia yang mendalam ilmunya tentang dimesi Tuhan dan selalu melandasi sifat kasih sayang akan mudah dalam menciptakan sesuatu dalam hidupnya. Manusia adalah makhluk yang paling hebat. Setiap satuan detik selalu menghasilkan sebuah perubahan atau kejadian. Manusia selalu menciptakan sesuatu untuk memfasilitasi hidupnya. Dalam penciptaan kejadian atau benda-benda konkrit itulah manusia harus selalu berdasarkan empat prinsip penciptaan. Manusia dalam membuat sebuah produk apapun namanya selalu menggunakan prinsip manajemen, kesepasangan, struktural dan keseimbangan.


Itulah dimensi, sifat dan prinsip penciptaan Tuhan yang ditampakkan dari fenomena tanamanan depan pekarangan. Manusia dapat mengambil pelajaran dengan memaksimalkan panca inderanya. Dialam semesta itulah Tuhan menggelar dan menyimpan rahasia ilmuNya. Tujuan utama Tuhan merahasiakan ilmu itu agar manusia selalu mengaktifkan dendrite dan neuron serta neurotransmitter pikirannya. Ketika manusia sudah menemukan ilmuNya maka semakin dekatlah dia dengan Tuhan. Semakin tidak pernah menggunakan akal pikirannya maka semakin jauhlah dengan Tuhan. Hanya manusia-manusia pilihan yang akan mengenal Tuhan. Dia berkehendak kepada siapa saja yang mau berusaha mencarinya. Kita berjalan mencari Tuhan, Tuhan berlari mendekati kita. Itulah hakikat Tuhan menciptakan manusia, berharap bahwa manusia sadar akan tujuan utama diciptakan untuk menjadi potret dan gambar diriNya. Menjadi manusia paripurna dengan ilmu Tuhan transenden dan immanent dalam diri manusia yang akan menjadi wakilnya untuk mengelola alam semesta yang diciptakan-Nya. Menjadi solusi alternatif terhadap krisis multidimensi yang melanda lintas benua bahkan jagad raya. Itulah manusia yang dekat dengan Tuhan, mempunyai sifat kasih dan sayang serta berjalan diatas prinsip penciptaan Tuhan.

Penulis  : Heru Mulyantoro, M.Pd., (Sekretaris DPD GAFATAR Jawa Tengah)

Cakra Manggilingan Titik Balik Peradaban Nusantara

Cakra Manggilingan Kehidupan Alam Semesta


Cakra manggilingan adalah filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Secara bahasa berasal dari kata cakra yaitu lingkaran, roda dan manggilingan yaitu berputar, menggelinding. Bentuk melingkar cakra manggilingan itu membentuk keseimbangan dalam setiap lintasan perputarannya. Kehidupan alam fisik maupun alam sosial selalu silih berganti seperti roda kehidupan, ibarat pergantian terjadinya siang dan malam. Kondisi tersebut merupakan daur alamiah untuk menciptakan keseimbangan tata surya kehidupan jagad raya. Kodrat yang Maha Kuasa berganti bagaikan cakra manggilingan. Diatas prinsip penciptaan berkepasangan itulah Tuhan Yang Maha Esa menjadikan keadilan dan keseimbangan. Hidup ini ada gelap terang, tinggi rendah, tua muda, integrasi diferensiasi, yang semua itu digulirkan oleh Tuhan sesuai dengan kapasitas waktu yang ditetapkannya. Setelah mencapai jaman keemasan atau kertayoga akhirnya mengalami masa keruntuhan atau kaliyoga. Itulah kehidupan yang selalu berubah dan berputar mejalankan hukum kekuasaannya.


Kearifan Universal Nusantara dalam memandang daur kosmologi alam semesta juga disampaikan oleh para filosof dunia masa lalu maupun masa modern ini. Irama berulang dalam pertumbuhan budaya terkait dengan proses fluktuasi yang telah diamati selama berabad-abad dan menjadi bagian dari dinamika pokok alam semesta. Filsuf Cina yakin bahwa manifestasi realitas dihasilkan oleh dinamika yang saling mempengaruhi antara dua kutub kekuatan yaitu yin dan yang, Heraclitus dari Yunani Kuno membandingkan tatanan dunia seperti api abadi yang menyala dalam ukuran tertentu dan padam dalam ukuran tertentu, Empedocles menghubungkan perubahan-perubahan di alam semesta dengan pasang surutnya ‘cinta dan benci’. Begitu juga dengan para pemikir modern seperti Saint Simon melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian pertukaran periode-periode organic dan kritis, sementara Herbert Spencer memandang alam semesta bergerak melalui suatu rangkaian integrasi dan diferensiasi dan Hegel memperhatikan sejarah manusia sebagai suatu perkembangan spiral dari suatu bentuk kesatuan melalui fase perpecahan menuju arah reintegrasi pada tataran yang lebih tinggi.


Dari disiplin filsafat tersebut sangat relevan untuk dijadikan rujukan dalam melihat fenomena kehidupan dunia hari ini. Ibarat seperti kondisi malam yang gelap gulita memberikan pesan seolah kehidupan dunia dan Nusantara khususnya hari ini sedang menjalani fase keterpurukan multidimensi. Perilaku kehidupan manusia sedang berada dalam kondisi titik nadir paling bawah dalam lintasan cakra manggilingan kehidupan alam semesta. Tuhan sedang mengkutuk peradaban dunia dengan kegelapan dan kezaliman disebabkan oleh tingkah laku manusia yang melampui batas-batas ketettapannya.


Krisis Multidimensi Lintas Benua


Dunia sedang mengalami gejala kerusakan alam dan sosial maha dahsyat pada millennium abad 21 ini. Amerika sedang marak terjadi penembakan masal di negaranya, Eropa sedang mengalami resesi ekonomi makro yang luar biasa, Afrika masih berkutat dengan kemiskinan dan kelaparan, Australia sering mengalami bencana alam, sementara di Asia masih sering terjadi gejolak perang untuk mempertahankan eksistensi penjajahan atas nama perekonomian. Fritjof Capra, The Turning Point (2007) menyatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke dua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral spiritual, suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.


Indokator-indikator tersebut juga sangat jelas terlihat di Nusantara. Nusantara sebagai bagian strategis dari silang dunia memperoleh dampak signifikan terhadap kerusakan morallitas peradaban dunia tersebut. Bangsa Indonesia telah mengalami dekadensi spiritual yang besar sehingga menjadikan kehidupan sosial penuh dengan kezaliman dan kemunafikan. Krisis kepemimpinan dan krisis sosial budaya tampak dalam setiap perilaku kehidupan bangsa ini yang anarkis dan tidak toleran. Kondisi permasalahan tersebut sangat relevan dalam tatanan kearifan lokal masyarakat Jawa yang menyatakan bahwa semua kejadian yang melanda bangsa ini sebagai penggenapan dari ramalan Ronggowarsito Serat Kalatidha dalam tembang Sinom bait 7 “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, milu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kasra Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Artinya hidup di dalam zaman edan, memang repot, akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya zaman, tidak mendapat apapun juga, akhirnya kelaparan, tapi sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia tapi masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.


Faktor Utama Permasalahan Dunia


Permasalahan kehidupan tersebut menjadi realitas yang harus dihadapi semua orang yang terlibat di kesatuan wilayah Nusantara. Upaya untuk menyelesaikan dan menanggapi persoalan tersebut dengan cara menguraikan factor utama yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Beberapa evaluasi dan identifikasi sumber masalah utama adalah merosotnya nilai-nilai luhur spiritualitas anak bangsa dalam menjalankan kehidupannya. Putra-putri bangsa lebih mengedepankan kemampuan intelektual daripada spiritualnya. Penyakit ini dinamakan penyakit Cyber yang hanya mengedepankan kemampuan rasional sehingga menjadikan pikiran manusia modern berubah menjadi pikiran mekanis dan digital, sering disebut HIV Human Intelligence Virus dan AIDS Acquired Intelligence Deficiency syndrome di dunia inteligensi pikiran. Inteligensi manusia bisa lenyap karena virus itu, sehingga Human Intelligence-nya mati dan diganti Artificial Intelligence, Rational Intelligence, atau Digital Intelligence (Nataatmadja,2003).


Secara lebih global, hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kecerdasan spiritual manusia modern yang sedang terjangkit penyakit spiritual dengan segala variasinya seperti spiritual crisis menurut Fritjof Capra, penyakit jiwa atau soul pain menurut Michael Kearney, penyakit eksistensial Carl Gustav Jung, darurat spiritual atau spiritual emergency menurut Cristina dan Stanislav Grof, patologi spiritual, alienasi spiritual maupun penyakit spiritual.


Titik Balik Peradaban Nusantara


Kearifan cakra manggilingan memberikan tanda bahwa segala sesuatu itu berputar. Ada siang dan ada malam, setelah hari ini malam besok harinya pasti siang. Kondisi kegelapan dunia yang terjadi hari ini menjadi peluang bagi manusia untuk memperbaikinya. Setiap manusia harus menyesuaikan diri dengan ritme perputaran alam semesta agar memperoleh perubahan menuju sinar terang matahari dunia. Ibarat sebuah waktu hari dimana waktu siang 12 jam dan waktu malam 12 jam, maka umur setiap peradaban juga mempunyai rentang waktu akan tegak dan runtuhnya. Menurut tradisi Tuhan, bahwa tiap-tiap umat ada batas waktunya, sebagaimana terjadi pada umat Nabi Musa, Isa, dan Muhammad yang masing-masing memiliki batas eksistensinya. Ada kelahiran dan kematian atau ada kebangkitan dan kehancuran. Jika dipetakan menurut kalender masehi yaitu semenjak kelahiran umat pimpinan Muhammad pada tahun 624 masehi, ditambah 700 tahun masa kejayaan sampai tradisi kehancurannya pada tahun 1324 masehi, dan ditambah lagi waktu tradisinya 700 tahun, maka menurut tradisi Tuhan umat pilihan akan dibangkitkan kembali pada awal abad ke 21 masehi atau tahun 2024 masehi.


Hal ini didukung oleh penemuan Professor James H.L Lawler (1990) dari Nexial Institue telah menemukan siklus 700 tahun terhadap bangkit dan runtuhnya peradaban kerajaan monolitik maupun fragmentary pada masa lalu yang didokumentasikan lebih dari 150 kerajaan besar di dunia. Hal senada diungkapkan oleh Manteb Sudarsono (2010) menyitir ramalan pujangga besar Ronggowarsito yang mengategorikan masa-masa sekarang ini adalah apa yang disebut sebagai kala bendu. Kala bendu itu akan berakhir ketika pandawa mulat sirnaning temanten yaitu sebuah sengkalan atau sandi tahun yang kalau diterjemahkan menjadi tahun 2025. Tuhan akan memberikan rahmat yang luar biasa bagi mereka yang mengetahui, realisasi janji-Nya mengenai era kebangkitan, bangsa Indonesia ternyata diberi peluang pertama diantara kaum yang lain, dan tanda-tanda siksa yang teramat mengerikan itu sudah terbayang dalam suasana krisis dewasa ini (Nataatmadja,2006).


Futurology tersebut menurut Ronggowarsito dalam serat Joko Lodang dinyatakan ing weca kang wus pinesthi, estinen murih kelakon yang artinya di dalam ramalan atau fakta potensial yang sudah ditentukan haruslah diusahakan dan diperjuangkan supaya segera dapat terjadi atau fakta konkret (Purwadi, 2004). Dalam Bahasa Ir Soekarno pada saat lahirnya Pancasila mengatakan “tidak ada satoe Weltanchauung dapat mendjadi kenjataan, menjadi realiteit, djika tidak dengan perdjoeangan! Zonder perdjoeangan itu tidaklah ia akan mendjadi realiteit”. Semua teori dan futurology masa depan tersebut harus diperjuangkan dalam bentuk konrkrit karya-karya nyata sehingga apa yang menjadi cita-cita dapat tercapai. Memaknai dari proses daur kosmologi alam semesta tersebut, bahwa kehidupan sosial dan peradaban manusia saling berputar dan silih berganti antara peradaban baik dan buruk maka terdapat sebuah potensial bagi Nusantara untuk bangkit dari keterpurukan. Nusantara sebagai bangsa strategis dan mempunyai peran vital bagi dunia mempunyai kesempatan besar untuk mengikuti laju perputaran kehidupan untuk mencapai kesejahteraan sebagaimana yang menjadi cita-cita bangsa dalam pembukaan UUD 1945. Semua putra-putri Nusantara harus sadar dan bangun dari ketertidurannya sehingga mampu menjadikan bangsa ini bangkit serta menjadi bangsa teladan bagi dunia lainnya.


Transformasi Budaya Pancasila Untuk Dunia


Dalam usaha untuk memperbaiki keadaan alam sosial ini dibutuhkan orang-orang yang memahami ilmu cakra manggilingan untuk mengendalikan perubahan tersebut. Pengendali cakra manggilingan disebut cakraningrat dalam bahasa Jawa dan cakravartin dalam bahasa Sriwijaya. Wahyu Cakraningrat adalah wahyu atau ilmu ‘wijining ratu’, wahyu pewaris raja sebagai lambang derajat kekuasaan yang dipercaya mampu memegang kendali kepemimpinan. Sementara itu makna dari cakravartin adalah supremasi moral dan religious legitimasi para penguasa semesta atau raja diantara para raja yang memerintah di pusat mandala Sriwijaya. Sosok cakravartin adalah sosok penguasa universal, raja tertinggi diantara manusia. Makna literal dari cakravartin adalah ‘pemutar roda’ yang merujuk pada roda keberuntungan yang menaikkan atau menurunkan keberuntungan manusia. Ilmu cakraningrat atau cakravartin perputaran roda zaman ini dapat dipelajari dari nilai-nilai luhur Nusantara dan dunia pada umumnya.


Arnold Toynbee dalam A Study of History (1972) melihat pola dasar dalam terjadinya peradaban sebagai suatu pola interaksi ‘tantangan’ dari lingkungan alam dan sosial yang memancing ‘tanggapan’ kreatif dalam suatu masyarakat, kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu memasuki proses peradaban dengan mengalami suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Hukum alam Tuhan memang mengatakan sebuah kondisi tak stabil akan membuat ‘pergerakan’ untuk menuju ke-stabilan Hukum Newton. Fritjof Capra (2007) menyatakan bahwa sebuah peradaban cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh setelah mencapai puncak vitalitasnya, hal ini disebabkan oleh hilangnya fleksibilitas. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya sehingga mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial. Sementara peradaban-peradaban minoritas kreatif yang sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaiannya yang tidak pernah berhenti dalam melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut tetapi dalam kondisi-kondisi baru dengan tokoh-tokoh yang baru pula. Kondisi tersebut sangat mirip dengan kondisi Nusantara ini sehingga upaya-upaya solusi berbasis budaya harus segera dilakukan untuk menyambut masa transisi peradaban tersebut.


Transformasi dan evolusi pembudayaan Pancasila di Nusantara menjadi solusi titik balik peradaban ini. Pembudayaan Pancasila dapat dilakukan dengan metodologi interpretasi, internalisasi dan aktualisasi. Interpretasi Pancasila adalah mentafsirkan dan menguraikan kembali makna sila-sila Pancasila dengan berlandaskan kajian keilmuan yang ilmiah dan alamiah bersifat universal. Interpretasi digunakan untuk meyakinkan orang lain dan mendorong orang lain untuk merubah cara berpikir dan tingkah laku mereka berdasarkan Pancasila. Internalisasi Pancasila dilakukan dengan penghayatan, pengendapan kesadaran dan penyatuan nilai-nilai dalam sila Pancasila untuk menjadi kepribadian akhlak (karakter sejati) manusia Nusantara. Aktualisasi Pancasila dengan mengamalkan segala nilai-nilai Pancasila yang telah diperoleh dari proses interpretasi dan internalisasi dalam bentuk aksi-aksi nyata bidang kegiatan budaya, sosial, dan ilmiah. Nusantara harus kembali melakukan interpretasi, internalisasi, dan aktualisasi sila-sila Pancasila yang terdiri atas dasar prinsip Ketuhanan, prinsip kemanusiaan, prinsip persatuan, prinsip kerakyaatan dan prinsip keadilan. Diatas lima prinsip universal itulah bangsa Nusantara akan mengalami titik balik peradaban dunia, merubah kondisi keterpurukan bangsa menjadi bangsa percontohan yang ‘gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem kerto raharjo dadi kiblating dunya’.


Kunci sukses dalam setiap perjuangan adalah keyakinan dan aplikasi perbuatan. Kesatuan antara pemikiran, perkataan dan perbuatan menjadi harga mati dalam setiap usaha meraih asa. Dalam terminology pohon diibaratkan kesatuan antara akar, batang dan buah. Putra-putri Nusantara harus memiliki power of the will atau icha shakti yaitu tekad bulat untuk mengubah kondisi bangsa, memiliki power of knowingness atau gyaana shakti dengan mengembangkan keahlian, pengetahuan yang diperlukan untuk daya tahan dan bekerja keras dalam menuntut ilmu, dan terakhir harus mempunyai power of action atau kriya shakti yaitu melaksanakan dengan berkarya setiap saat, dengan ilmu dan kesungguhan dan penuh keceriaan. Dengan dasar tersebut, sangat berpeluang bagi Nusantara untuk kembali bangkit dalam titik balik peradaban untuk kembali menjadi pusat peradaban dunia, Nusantara menjadi mercusuar dunia.

Sumber : www.gafatar.or.id
Penulis  : Heru Mulyantoro, M.Pd (Sekretaris DPD GAFATAR Jawa Tengah).

Pancasila Dalam Candi Nusantara

Nusantara dalam Lintasan Peradaban Dunia


Nusantara atau Indonesia Raya adalah bangsa besar yang memiliki sejarah panjang peradaban umat manusia. Kegemilangan nenek moyang membangun kejayaan tidak terlepas dari peran bangsa Nusantara secara geopolitik maupun geografis di belahan dunia timur ini. Nusantara secara harfiah berarti "nusa" yaitu pulau-pulau atau kepulauan dan "antara" menunjukkan tempat kedudukan yang diapit oleh benua-benua dan samudra-samudra. Pengertian dan faham "kepulauan" atau "archipelago" dan posisi geografis "antara" dua benua yaitu Asia dan Australia, serta samudra India dan Pasifik memantulkan kesadar­an dan semangat tentang tersatunya unsur tanah dan unsur air dalam perwujudan negara kepulauan. Nusantara adalah suatu negara kepulauan yang menduduki posisi silang dunia. Nusantara menjadi pintu masuk lintasan peradaban bangsa-bangsa di seluruh dunia sepanjang masa baik masa lalu, masa kini dan masa depan. Konsekuensi logis dari posisi strategis tersebut menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perkembangan kebudayaan di negeri tercinta ini. Bangsa ini telah mampu bertahan dari serangkaian interaksi kebudayaan bangsa-bangsa. Nusantara mampu memfilter perilaku hubungan simbiosis antar negara sehingga mewariskan ajaran universal luhur bagi generasinya. Leluhur bangsa telah menorehkan sejarah tinta emas peradaban pada jamannya.


Nusantara memiliki total wilayah darat dan laut kepulauan mencapai 10 juta kilometer persegi. Geografis ini sama dengan dua setengah juta kilometer persegi lebih luas dibanding tanah yang membentuk Amerika Serikat kontinental tanpa Alaska. Nusantara terdiri atas ribuan pulau-pulau yang disatukan oleh air. Gugusan pulau dari Aceh hingga Papua merupakan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tak ternilai harganya. Bangsa ini memiliki 400 lebih suku yang berbeda dan 200 bahasa daerah. Perbedaan ini menjadi sumber potensial untuk membangun bangsa adikuasa di dunia ini. Keanekaragaman sumber daya manusia menghasilkan keberagaman kebudayaan peradaban. Nusantara memiliki artefak dan jejak peradaban luar bisaa akan kehidupan masa lalunya. Peninggalan sejarah yang bersifat tangible maupun intangible ditemukan di seluruh penjuru bumi zamrud katulistiwa ini. Warisan leluhur kearifan lokal universal mewujud dalam bangunan sistem nilai maupun benda konkrit di lintasan tanah Indonesia. Salah satu manuskrip jejak peradaban yang menunjukkan kualitas spiritualitas manusia Nusantara adalah bangunan candi.





Candi sebagai Jejak Peradaban Nusantara


Candi adalah peninggalan purbakala dari leluhur bangsa Nusantara.Bangunan berbentuk segi tiga ini mempunyai banyak fungsi sesuai dengan motif pembangunannya. Candi dibangun untuk menjadi tanda atau misi tertentu serta bagian dari strategi pembelajaran bagi generasi berikutnya.Candi didirikan untuk fungsi religius pemujaan Tuhan maupun non-religius sebagai istana, keraton, pertirtaan dan gapura.Candi-candi menyampaikan pesan nilai-nilai universal melalui bentuk arsitektur, relief, serta arca yang memiliki spiritualitas daya cipta, rasa dan karsa.Bangunan candi sangat ditentukan oleh karakteristik wilayah maupun kerajaan yang mendirikannya.Nusantara ini memiliki banyak sekali candi-candi yang tersebar diseluruh pelosok negeri. Beberapa contoh karya leluhur yang masih dapat dilihat dengan jelas adalah candi Borobudur,candi Prambanan, candi Mendut, candi Jago, Candi Gedongsongo, candi Diengcandi Panatarancandi Angincandi Selogriocandi Pringapuscandi Singhasari, dan candi Kidal, dan Candi Sewu. Masih banyak candi lain yang ada di Indonesia baik yang sudah ditemukan maupun yang masih tertimbun di dasar bumi.


Kontruksi bangunan candi memiliki nilai fisik maupun nilai filosofis. Struktur bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting yaitu kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka atau kamadhatu. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka atau rupadhatu yang menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Tubuh candi ini terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut pradakshina. Tubuh candi dihiasi relief yang bersifat naratif cerita kisah kehidupan. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka atau arupadhatu. Pada puncak atap dimahkotai stuparatnawajra, atau lingga semu. Struktur hirarkis dan sistematis ini merupakan manifestasi dari nilai kehidupan derajat manusia yang ditentukan oleh kemampuannya menapaktilasi perjalanan ilmu kehidaupan.


Pembangunan candi berlandaskan ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh arsitek yang membuat candi. Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun serta letak astronomi. Penentuan lokasi ini menjadi hal utama untuk menciptakan kesejahteraan warga disekitar. Salah satu contoh konkrit pemikiran tersebut adalah candi Borobudur yang terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Air adalah sumber utama kehidupan bagi manusia. Ilmu penentuan letak candi adalah bagian dari kecerdasan manusia-manusia Nusantara dalam dunia tata letak peradaban ilmu planologi.


Sistem tata letak candi di Nusantara terbagi atas dua macam yaitu berdiri sendiri dan berkelompok. Sistem pengelompokan kompleks candi ada dua yaitu sistem konsentris dan sistem berurutan. Sistem konsentria atau sistem gugusan terpusat yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi atau candi perwara.Sistem ini diterapkan dalam bangunan candi Prambanan dan candi Sewu. Yang kedua adalah sistem berurutan atau sistem gugusan linear berurutan yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk yang disusun secara simetris maupun asimentris. Sistem berurutan ini diimpelamntasikan dalam candi Penataran dan candi Sukuh. Tata letak ini merupakan kearifan lokal Nusantara yang mengindikasikan bahwa keteraturan dan pola interaksi hubungan dalam sebuah kerajaan sudah ada semenjak masa itu.





Nilai Universal Pancasila dalam Candi Nusantara


Candi-candi Nusantara merupakan bangunan penuh makna pelajaran dan simbolisasi kehidupan. Candi diciptakan mempunyai tujuan untuk memberikan transformasi dan transmisi pendidikan kepada generasi berikutnya. Tatanan batu andesit maupun batu bata serta relief dan arca yang membentuk candi menjadi media konkret nilai-nilai pendidikan humanis bagi manusia Nusantara. Perwujudan bangunan candi Borobudur dan Prambanan adalah suatu bukti penggenapan sistem nilai kehidupan adi luhung yang bermartabat pada waktu itu. Tidak mungkin candi terbesar di dunia Borobudur dibangun pada saat konflik maupun krisis multidimensi pada kehidupan masyarakat dinasi Syailendra tersebut. Ada sebuah sistem hidup dan kehidupan yang diterapkan pada waktu itu sehingga semua berjalan selaras dan serasi seimbang sehingga mampu menghasilkan mahakarya peradaban tingkat tinggi candi yang menjadi 7 keajaiban dunia tersebut.


Bangunan Borobudur adalah candi terlengkap dalam konstruksi candi di Nusantara. Disana terdapat relief-relief yang tertata dengan arsip sistematis menggambarkan perjalanan kehidupan. Relief yang diukir dalam tubuh candi tersebut terdiri atas empat tingkatan yaitu Karmawibangga, Lalitawistara, Jataka Awadana, Gandawyuha. Cerita-cerita dalam relief Karmawibhangga yang menggambarkan ajaran mengenai  karma yakni  sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Relief ini menceritakan perjalanan kehidupan bagi manusia yang masih mengedepankan hawa nafsu angkara. Perilaku kehidupan berdasarkan atas kesenangan hidup hedonism sehingga menghasilkan manusia-manusia rakus dan tidak beradab. Tingkatan ini seperti halnya dengan tingkatan hidup manusia yang paling rendah diibartkan seperti hewan yang hanya mengedepankan cara hidup atas perut dan bawah perut. Lalitawistara menceritakan tentang esensi kehidupan bahwa segala sesuatu itu berputar dan berulang. Filosofi ini berkaitan tentang pemutaran atau silih bergantinya roda dharma atau hukum. Manusia akan mengalami suatu dinamika dalam kehidupannya berupa senang susah, pandai bodoh, tinggi rendah, kaya miskin, hitam putih, gelap terang, siang malam. Semua diperglirkan oleh yang Maha Kuasa sehingga manusia berkewajiban untuk selalu berusaha dan berkarya. Jataka/Awadana bercerita ajaran pokok perbuatan-perbuatan baik yang bersifat universal untuk hubungan antara manusia dengan manusia. Pelajaran ini memberikan makna bahwa hidup dan berkehidupan harus mengedepankan perbuatan terpuji dan terbaik sehingga dapat menciptakan keharmonisan. Ajaran cinta kasih ini menjadi hal utama untuk membangun hubungan sosial antar manusia.Perbuatan dan skap baik itu seperti sikap rela berkorban, suka menolong, sepi ing pamrih rame ing gawe, mikul duwur mendem jero, aja adigang adigung adiguna dan gotong royong. Relief paling tinggi adalah Gandawyuha yang menceritakan tentang proses kehidupan berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari  pengetahuan tertinggi  tentang kebenaran sejati. Ilmu adalah kunci kehidupan, manusia tidak bisa melakukan apapun tanpa dasar ilmu. Ilmu iku kelakone kanthi laku, maksudnya bahwa ilmu itu akan berguna dan bermanfaat serta menjadi bagian dari dalam diri manusia setelah dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Ilmu selalu mempunyai nilai kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi umat manusia.


Nilai-nilai pelajaran simbolisasi dalam relief candi  Borobudur merupakan manifestasi dari sila-sila dalam Pancasila. Relief yang menceritakan jalan kehidupan hakikatnya sama dengan perjalanan bangsa Nusantara untuk mencapai kedamaian melalui dasar Negara yaitu Pancasila. Ajaran Ketuhanan dalam relief candi sangat relevan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Stupa candi Borobudur yang sangat besar dan megah terletak dalam arupadathu menginformasikan akan sebuah nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Perkasa. Tingkatan tertinggi Borobudur selalu menjadi tujuan mendaki di candi tersebut. Sama halnya dengan proses kehidupan menuju Ketuhanan. Bangsa Nusantara ini memberikan jalan kehidupan weltanchaung berupa sila pertama dalam Pancasila. Orang-orang Dinasti Syailendra yang membangun candi tersebut merupakan manusia-manusia yang telah mengenal Tuhannya pada waktu itu. Mereka mengkodefikasikan spiritualitas Ketuhanan dalam bentuk bangunan candi tersebut.


Relief Jataka dan Lalitawistara mengajarkan akan sebuah prinsip kehidupan berkemanusiaan. Ini relevan dan sangat sesuai dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.Bangunan candi Boroburur maupun candi-candi lainnya di Nusantara pasti dibangun dalam kondisi sosialosi yang bradab. Mereka bisa berkarya membangun candi-candi bersejarah tersebut karena mendapatkan keadilan dari para pimpinan yang menguasai hajat hidup orang banyak pada masa kerajaan tersebut. Bangunan dan seni maha dahsyat tersebut hanya bisa dibangun oleh suatu tata kelola kehidupan masyarakat yang sudah beradab dan penuh nilai keteraturan. Rangkaian perjalanan kehidupan dalam relief mengajarkan suatu sistematika pembangunan mental spiritual dari manusia yang mengedepankan hawa nafsu menjadi manusia yang mengedepankan perbuatan baik dan benar antar sesame manusia. Kemanusiaan ini hanya akan terjadi mana kala manusia-manusia telah mengenal Tuhannya dengan benar. Ajaran ini sesuai dengan Pancasila bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.


Bangunan candi-candi di seluruh Nusantara menunjukkan persatuan dan kesatuan penduduk dalam berkehidupan. Candi Prambanan atau candi Dieng tidak mungkin dibangun tanpa adanya persatuan dan kesatuan diantara orang yang hidup pada saat itu. Persatuan menjadikan kekuatan maha besar sehingga mampu bekerja sama dan gotong royong membangun candi. Fakta sosilogis tersebut memberikan bukti bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa komunak kolektif yang sangat tidak sesuai dengan ajaran individualism.Bangunan candi sendiri sudah merupakan persatuan dan kesatuan dari berbagai corak dan jenis ukiran yang menjadi satu kesatuan indah mempesona.Keterangkaian antara batu satu dengan batu lainnya diikat oleh sebuah mekanisme fisika batu yang sangat kuat sehingga bangunan candi mampu berdiri kokoh tidak mempan diterpa panas dan dingin maupun hujan.Ini menjadi pelajaran bagi manusia Nusantara bahwa perbedaan adalah hal yang pasti dan tidak bisa dihilangkan. Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Darma Mangrwa. Perbedaan adalah kekayaan sekaligus potensi kekuatan besar untuk dipersatukan dalam membangun bangsa.Perbedaan harus dikelola dengan bijaksana dalam rangka mencapai tujuan bersama.Itulah esensial dari sila ketiga Pancasila, persatuan Indonesia.


Candi Borobudur maupun candi-candi Nusantara merupakan bukti konkrit dari para pemimpin komunitas pada waktu itu yang mengedepankan hukum kepemimpinan. Bangunan candi hanya bisa berdiri ketika dikelola dengan manajemen dan leadership yang kuat. Prinsip-prinsip manajerial perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengarahan, pengontrolan dan penilaian menjadi hal utama yang dilakukan oleh para pimpinan mega proyek kepada para karyawan yang membangun candi tersebut. Kaidah-kaidah manajemen professional, procedural, proporsional, proaktif, progresif dan produktif menjadi landasan utama dalam mengerakkan ribuan arsitektur dan kekerja lintas kecerdasan. Hal paling penting yang menunjukkan akan sebuah kekuatan besar sehingga menghasilkan karya monumental tersebut adalah prinsip kepemimpinan Dinasti Syailendra. Prinsip kepemimpinan yang dibangun untuk memanajemen sumber daya manusia dan sumber daya material adalah prinsip hikmat kebijaksaan dan perwakilan. Hukum universal tersebut pasti diberlakukan untuk mengendalikan semua proses yang melibatkan ratusan manusia yang mempunyai lintas kecerdasan intelektual fisika, kimia, matematika, maupun kecerdasan emosional spiritual filosofis. Orang-orang terbaik dan terpilih mendapat kesempatan untuk membangun candi Borobudur tersebut. Keteraturan dan keseimbangan kehidupan masyarakat pada masa itu merupakan bukti nyata dari implementasi prinsip dan hukum kepemimpinan yang berdasarkan kebenaran universal hikmat dan kebijaksanaan. Contoh perilaku kepemimpinan Syalendra tersebut, sangat sesuai dengan nilai-nilai falsafah dalam sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk membangun candi-candi Nusantara pastilah mengedepankan musyawarah dan perwakilan dalam menentukan letak dan posisi strategis candi yang akan menjadi tanda jejak peradaban bagi generasi anak bangsa Nusantara.


Keberhasilan para leluhur membangun candi-candi di Nusantara membuktikan jejak peradaban tinta emas pada masa itu. Terlebih pada abad ke-8 pada masa Mataram Kuno atau Kerajaan Medang Kamulan dibawah Dinasti Syailendra.Candi Borobudur merupakan artefak sejarah peradaban masa keemasan Nusantara pada masa itu. Kelahiran Candi Borobudur adalah investasi dan manifestasi dari para manusia-manusia Nusantara yang telah mencapai suatu derajat hidup yang layak dan bermartabat.Kejadian berdirinya karya seni termahsyur di dunia tersebut mengindikasikan kehidupan pada masa itu sudah sejahtera adil dan beradab. Tidak mungkin bisa berdiri candi Borobudur jika waktu itu terjadi peperangan ataupun perselisihan konflik antar anak bangsa. Itulah suatu bentuk wujud konkrit sebuah kehidupan berkat dari Tuhan yang Maha Esa, suatu kehidupan yang sangat sesuai dan menjadi cita-cita bangsa Indonesia dalam sila kelima Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Konstruksi fisik candi-candi di Nusantara sama dengan konstruksi filosofis Pancasila. Konstruksi Pancasila ini terdiri atas sila-sila Pancasila yang tersusun secara sistematis.Pancasila sebagai suatu sistem satu kesatuan, bersifat konsisten dan koheren tidak mengandung pertentangan, adanya hubungan satu dengan lainnya dan keseimbangan dalam kerjasama untuk mengabdi pada tujuan yang satu bersama. Pancasila mempunyai susunan hierarkhis bertingkat dan bentuk piramidial untuk menggambarkan hubungan yang bertingkat dari sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas cakupan kuantitas dan juga dalam isi sifatnya yang bersifat kualitas. Sila-sila Pancasila saling menjiwai dan dijiwai antara satu dengan lainnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima.





Penciptaan Karakter Jati Diri untuk Membangun Peradaban Bangsa


Inilah ajaran universal Pancasila para leluhur yang harus dilestarikan dan diberdayakan. Pancasila sebagai manifestasi karya candi-candi Nusantara harus dipahamkan dan ditanamkan kepada generasi penerus bangsa. Pancasila harus menjadi jati diri dan karakter kebangsaan. Nilai-nilai kearifan universal harus ditransmisikan kedalam pusat kecerdasan spiritual manusia Nusantara untuk membangun putra-putri yang siap berkorban untuk ibu pertiwi. Pembumian karakter suci dari sila-sila tersebut harus dilakukan melalui metodologi yang benar.Proses instalasi atau built in intelegensi spiritual Pancasila melalui tiga tahapan yaitu interpretasi sebagai input, internalisasisebagai proses, dan aktualisasi sebagai output.


Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Interpretasi merupakan suatu proses untuk menyederhanakan ide-ide atau issu-issu yang rumitdan kemudian membaginya dengan masyarakat awam atau umum. Interpretasi dapat digunakan untuk meyakinkan orang lain dan mendorong orang lain untuk merubah cara berpikir dan tingkah laku mereka. Reinterpretasi Pancasila adalah kembali mentafsirkan dan menguraikan kembali makna sila-sila Pancasila dengan berlandaskan kajian keilmuan yang ilmiah dan alamiah bersifat universal sesuai kontruksi intelegensi spiritual Pancasila.Interpretasi dapat dilakukan oleh masing individu-individu mapun secara kolektif dengan selalu mengedepankan kesantunan berfikirnya. Aktivitas interpretasi nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan dengan cara belajar mandiri dan kegiatan berkelompok dengan sarana sarasehan Pancasila, dialog kebangsaan atau sosialisasi  nilai-nilai kearifan lokal candi-candi setiap daerah di Nusantara ini.


Internalisasi merupakan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga menjadi keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Internalisasi Pancasila adalah kembali melakukan penghayatan, pengendapan dan penyatuan nilai-nilai dalam sila Pancasila untuk menjadi kepribadian akhlak atau karakter sejati manusia Indonesia. Internalisasi ini dilakukan oleh individu-individu sesuai dengan cara atau perilaku yang sesuai dengan kearifan lokal candi-candi Nusantara. Aktivitas internalisasi dapat dilakukan dengan bangun aktivitas malam dan renungan malam untuk menghayati nilai-nilai Pancasila dikaitkan dengan kehidupan yang sedang berlangsung. Proses internalisasi dalam kehidupan berbudaya dapat dilakukan dengan mempelajari situs candi-candi di Nusantara untuk memhami jejak peradaban dan memberikan inspirasi kejayaan dalam melangkah kedepan.


Aktualisasi adalah kegiatan aplikasi terhadap suatu pemahaman atau keyakinan tertentu. Aktualisasi Pancasila dengan mengamalkan segala nilai-nilai Pancasila yang telah diperoleh dari proses interpretasi dan internalisasi dalam bentuk aksi-aksi nyata bidang kegiatan budaya, sosial, dan ilmiah. Aktivitas aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam domain budaya kerangka proses akan menghasilkan suatu kecerdasan budaya yang berguna untuk kemaslahatan manusia. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan sosial akan menciptakan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan pencapaian kualitas manusia mengenai kesadaran diri dan penguasaan pengetahuan yang bukan hanya untuk keberhasilan dalam melakukan hubungan interpersonal tetapi juga digunakan untuk membuat kehidupan manusia lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar, kecerdasan sosial mampu menunjukkan suatu kebenaran dalam masyarakat, peka terhadap kondisi sosial, ketajaman dalam melihat realitas sosial, menghargai perbedaan keragaman budaya, dan mampu bertindak secara strategis dan efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam bidang Ilmiah dapat menghasilkan kecerdasan rasional.Aksi-aksi ini dapat dilakukan dengan penelitian dan pengkajian daerah tentang kearifan lokal daerah, kegiatan pendidikan berbasis rumah, kegiatan praktikum ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Pengembangan aktivitas-aktivitas ilmiah ini akan menjadikan manusia-manusia Indonesia mempunyai kecerdasan intelektual untuk menyelesaikan permasalahan yang barkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Implementasi tersebut melibatkan subyek individu sebagai komponen utama program kecerdasan dan lingkungan keluarga, komunitas organisasi, dan bangsa dalam upaya membangun peradaban bangsa. Ketiga proses ini membutuhkan intervensi pribadi (internal) dalam proses secara individu dan membutuhkan intervensi serta keteladanan pimpinan dalam kehidupan keluarga, komunitas dan bangsa. Selain intervensi juga membutuhkan habituasi atau pembisaaan diri maupun pembudayaan kolektif oleh individu maupun dalam skala komunitas kebangsaan. Unsur yang paling penting untuk membangun karakter adalah komitmen bersama untuk membangun bangsa berdasar Pancasila yang merupakan perjanjian luhur bangsa Indonesia. Komitmen ini mempunyai fungsi utama mengikat visi dan misi serta aksi individu, keluarga, komunitas dan bangsa untuk membangun peradaban bangsa. Peradaban sangat ditentukan oleh karya-karya manusia dalam bidang budaya, sosial, dan ilmiah sebagai perwujudan kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual. Candi-candi Nusantara adalah bukti manusia-manusia yang berkarakter ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.





Harmonisasi Tiga Sisi Candi Nusantara


Bangsa Indonesia harus membangun peradaban menggunakan pendekatan nilai-nilai universal dalam candi. Hari ini, Candi-candi di Nusantara mempunyai keterikatakan 3 dimensi dari segi kehidupan bermasyarakat. Dimensi yang pertama adalah candi-candi sebagai heritage cagar budaya peninggalan leluhur yang sarat dengan makna dan sistem nilai hidup universal harus di lestarikan dan dilindungi. Kedua candi sebagai dimensi religius yang harus dihormati dan diajarkan kepada generasi anak bangsa sesuai dengan kepercayaan agar menjadi manusia paripurna dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi candi ketiga adalah pariwisata yang harus dimanajemen secara arif dan bijak dengan mempertimbangkan segala sektor yang terintegrasi didalamnya. Pariwisata yang mengedepankan jelajah budaya akan mempercepat proses penciptaan karakter kebangsaan bagi wisatawan. Pelestarian berkelanjutan dari segi fisik dengan menjaga bangunan candi, sementara untuk mentransformasikan nilai-nilai universal candi dilakukan dengan interpretasi, internalisasi dan aktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Harmonisasi dalam interaksi kehidupan membangun tiga dimensi tersebut menjadi strategi utama untuk menyongsong peradaban Nusantara ke depan.


Candi-candi Nusantara adalah harta karun misteri peradaban bagi anak-anak bangsa. Candi merupakan kitab suci yang dengan sengaja dipersembahkan oleh para leluhur untuk manusia-manusia Nusantara. Sebuah ajaran spiritualitas universal dari para leluhur ini menjadi bukti cinta kasih untuk generasi setelahnya.Para leluhur telah mengetahui dan memahami bahwa generasinya membutuhkan sinar terang dan petunjuk untuk membangun bangsa Nusantara.Mereka sadar bahwa untuk melanjutkan kehidupan membutuhkan pendidikan moral spiritual sebagai pondasinya.Leluhur mendirikan candi-candi di seluruh Nusantara agar menjadi tanda dan jejak peradaban masa lalunya yang perlu diteladani dan dicontoh dalam membangun negeri ini.


Candi menjadi solusi dari permasalahan krisis multidimensi bangsa ini dikarenakan kehilangan spiritualitas jati diri.Manusia modern sedang terjangkit penyakit spiritual dengan segala variasinya seperti spiritual crisis menurut Fritjof Capra, penyakit jiwa atau soul pain menurut Michael Kearney, penyakit eksistensial Carl Gustav Jung, darurat spiritual atau spiritual emergency menurut Cristina dan Stanislav Grof, patologi spiritual, alienasi spiritual maupun penyakit spiritual. Permasalahan tersebut akan selesai ketika manusia kembali kepada spiritualitas sebagai landasan utama kehidupannya. Krisis spiritual ini bisa dibangkitkan kembali dengan menanamkan karakter jati diri bangsa dalam Pancasila. Sebuah candi atau ‘wawacan diri’ untuk melihat jati diri, harga diri, martabat diri untuk membangun ibu pertiwi dalam rangka pengabdian kepada Sang Hyang Widi, Penguasa Alam Semesta Sang Illahi. Kita harus membangun bangsa dengan spiritualitas universal Pancasila yang tersimbolisasi dalam candi-candi agar menjadikan negeri yang diberkati Tuhan, hidup penuh dengan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi bangsa teladan atau percontohan di dunia. Nusantara akan kembali menjadi bangsa yang ‘tata titi tentrem kertaraharja gemah ripah loh jinawi dadi kiblating dunya’. Pancasila sebagai karakter dan spiritualitas jiwa anak-anak bangsa akan menghantarkan Nusantara menjadi mercusuar dunia.

 Sumber: www.gafatar.or.id

Memaknai Tut Wuri Handayani

Jika ditanya apa yang menjadi kunci dari kesuksesan membangun masa depan sebuah bangsa, barangkali jawabannya adalah anak-anak. Yakni mereka yang menjadi penerus bangsa di masa mendatang. Berhasil atau tidaknya pendidikan dalam suatu bangsa jelas akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang.


Akan tetapi persoalan pendidikan bagi anak-anak memang tak semudah mengurus apa yang bisa dimakan esok hari. Meramu pendidikan yang tepat tidak juga semudah membangun sebuah rumah atau gedung bertingkat. Pendidikan untuk anak bukan sekedar soal bagaimana membangun sekolahan dengan kualitas nomor wahid, atau bagaimana agar anak-anak bisa memenangkan olimpiade tingkat internasional. Tetapi bagaimana agar manusia-manusia yang hari ini menjadi anak-anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kelak dapat mewujudkan kesejahteraan bangsa.


Belakangan kita tengah diributkan kembali dengan permasalahan tawuran antar sekolah. Ribuan orang mengecam tindakan remaja-remaja beringas ini. Menuding mereka melakukan hal yang teramat tak berguna. Beberapa solusi muncul di permukaan, mulai dari menambah jam pelajaran di sekolah, memasukkan ‘anak-anak nakal’ itu ke dalam karantina tertentu atau memberikan sangsi keluar dari sekolah. Tetapi benarkah ini semua salah mereka? Bukankah anak-anak adalah buah dari orangtuanya? Buah dari guru-guru dan sekolah yang mendidiknya? Buah dari sistem pendidikan negara?


Lantas apakah berarti pendidikan di negara ini telah salah? Ups, saya tidak berpendapat demikian. Hanya saja barangkali kita perlu berbenah diri. Pelaku pendidikan bukan saja mereka yang berada di Kementrian Pendidikan Nasional, bukan juga hanya mereka yang berkecimpung di dunia persekolahan, tetapi yang terutama adalah kita, sebagai individu, yang juga memiliki anak-anak yang kelak akan menjadi penerus bangsa ini.


Nyaris seratus tahun yang lalu, kita punya Ki Hajar Dewantara yang diresmikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ajaran-ajaran beliau sungguh luar biasa, seandainya saja kita mampu menerapkan satu slogan dari beliau yang terkenal bunyinya hingga kini namun sangat minim pelaksanaannya, barangkali kita telah berbuat sesuatu bagi negri ini.




Ing Ngarso Sung Tulodo


Jika seorang anak berbuat sesuatu yang baik dan membanggakan, kita para orangtua sering berdecak “ Siapa dulu Bapaknya!”. Tetapi jika sang anak melakukan sesuatu yang nakal, yang tidak diharapkan, kita kerap kali bertanya-tanya mengapa anak kita berlaku demikian.


“ SABAAAR Naaaak!” ucap kita dengan suara keras.  Demikian contoh perilaku yang barangkali sering kita lakukan. Kita bicara dengan nada yang tidak sabar, namun kita menuntut anak kita untuk sabar. Lalu jika anak kita bersikap tidak-sabaran, kita bingung (dan memarahinya) kenapa dia seperti itu.


Anak-anak menyerap sikap dan tingkah laku lebih baik dibandingkan mereka menyerap kata-kata. Mereka melihat apa yang orangtua mereka lakukan dengan detail, bahkan sejak mereka belum dapat mengucapkan kata-kata. Seorang anak hanya akan berperilaku seperti apa yang mereka lihat sehari-hari. Jadi, rasanya tidak bijak jika kita mempersalahkan anak dengan segala tingkah buruknya.


Barangkali yang perlu kita lakukan adalah bercermin, mengkoreksi segala tindak tanduk perilaku kita. Memberikan anak-anak kita pendidikan bukan berarti mencari orang atau lembaga yang mampu mengajarkan pengetahuan tertentu pada benak anak, tetapi hal pertama yang harus kita lakukan dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak kita adalah memperbaiki diri kita sendiri.




Ing Madyo Mangun Karso


Memberikan teladan saja tidak cukup. Orangtua harus mampu berada di samping mereka, menemani mereka belajar, memberikan semangat , serta menimbulkan gairah belajarnya.Jadilah teman belajar mereka dan bukan hanya duduk manis menudingkan jari telunjuk memberi perintah anak-anak untuk belajar.




Tut Wuri Handayani


Kita masih sering menganggap bahwa anak-anak adalah lembaran kertas putih yang kosong. Jika tidak ditulisi, maka anak-anak tetap akan kosong. Mereka menanti untuk diajarkan sesuatu. Padahal, pernahkah anda memperhatikan bagaimana seorang bayi belajar tengkurep? Bagaimana mereka belajar berjalan? Atau bagaimana mereka belajar berbicara?


Pernahkah kita mengajarkan mereka “Ayo nak buka mulutmu lebar-lebar dan keluarkan bunyi aaaaa” ? Tidak pernah bukan? Mereka secara ajaib bisa mulai berkata-kata sendiri. Secara ajaib pula mereka dapat mengerti apa yang kita ucapkan tanpa pernah kita mengajarkan “Nak, kalau kegiatan seperti ini namanya makan. Kegiatan seperti ini namanya minum. Ayo ucapkan.. Maaakan.. Minuum “  


Hal seperti ini merupakan salah satu indikasi bahwa sejatinya manusia merupakan makhluk pembelajar. Dengan kemampuan otak yang luar biasa, manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, sejatinya sudah memiliki insting untuk memenuhi kebutuhan dirinya untuk belajar. Hanya saja, intervensi berlebihan terhadap proses belajar terkadang mematikan insting manusia untuk belajar tersebut.


Saya percaya bahwa Ki Hajar Dewantoro mengerti hal ini. Sebab itu slogan terakhirnya merupakan “Tut Wuri Handayani”. Yakni bagaimana agar orangtua terkadang perlu untuk sekedar berada di belakang, memberikan dorongan dan arahan saja. Membiarkan anak-anak mengamati, mencari tahu sendiri, memecahkan persoalannya sendiri serta menentukan apa yang tengah ingin ia pelajari.


Sebab anak-anak bukan seperti kertas putih kosong. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan otak yang sudah dapat berfungsi luar biasa bahkan sejak mereka di dalam kandungan. Dengan berada di belakang, mengawasi dan memberikan arahan, membiarkan mereka mengembangkan kemampuannya tanpa intervensi orang dewasa yang terlalu berlebihan, membuat mereka bisa memahami diri mereka sendiri. Sesuatu yang rasanya mahal di kalangan generasi muda masa kini.


Terimakasih Bapak Pendidikan Indonesia. Semoga ajaranmu ini kelak dapat membimbing anak-anak bangsa menghantarkan kejayaan Nusantara!




Sumber :  www.gafatar.or.id
Penulis : Ayu Primadini
Anggota Gerakan Fajar Nusantara, Ibu 2 anak, Pemerhati masalah Pendidikan Anak.